Ketika Cinta Itu Hadir

Suatu siang, Arif datang berkunjung kerumah safitri bersama istrinya, Anisa. Arif, yang merupakan teman Safitri semasa kuliah dulu, tak pernah memberitahukan akan kedatangannya kekota Safitri. “Assalamu’alaikum…..”, “Wa’alaikumussalam…”, jawab safitri dari dalam rumah. Sambil cepat-cepat merapikan kerudungannya, dengan langkah agak tergesa, ia menuju kepintu. Sejenak ia tertegun. Seolah sedang berfikir keras untuk membuka kembali ingatannya mengenai siapa tamu yang berdiri di hadapannya. Namun sesaat kemudian ingatannya pulih kembali.
“Subhanallah… Arif! Rasanya sudah lama sekali tak berjumpa. Maafkan aku kalau tadi sempat tidak mengenalimu untuk beberapa saat. Kau sudah banyak berubah rupanya. Bagaimana kabarmu? Dan… siapa yang ada disampingmu? Istrimu….?” Pertanyaan Safitri meluncur begitu deras dari mulutnya. Sampai-sampai Arif pun tercekat untuk beberapa saat. Tak tahu harus menjawab yang mana. “Oh … Maaf! Mari, silahkan masuk! Maaf ya.. sampai lupa mempersilahkan masuk…”.
“Safitri, kenalkan ini istriku,” kata Arif sambil mengambil tempat duduk. “Anisa…,” kata wanita berkerudung biru itu sambil mengulurkan tangannya. “Safitri,” jawab Safitri sambil menyambut uluran tangan Anisa. Rupanya Arif sedang melakukan tinjauan dinas guna membuka cabang usahanya dikota tempat kelahiran Safitri. Tanpa terasa alur pembicaraan mereka beralih ke masalah keluarga. Suasana terasa enak. Apalagi Anisa pun pandai bercerita, sehingga rasanya perbincangan di antara mereka tak habis-habisnya.
Cerita mengenai kedatangan Arif dan istrinya akhirnya sampai ketelinga Iman, saat mereka berdua tengah menekuni tanaman hias di belakang rumah yang tertata dengan apik, di sore hari.
“Arif siapa sih, Fi?” Tanya Iman sambil mencabuti rumput-rumput kecil di salah satu tanaman hias. “Itu lho mas, teman kuliah Fi dulu,” jawabnya sambil tangannya sibuk mengaduk-aduk tanah. Pandangan Safitri terpusat kebawah, sehingga tak disadari ada sedikit perubahan pada diri suaminya. Sejenak, tangan Iman yang tadinya sibuk mencabuti rumput pun terhenti. Ia tahu Safitri, juga teman-temannya, dari cerita Safitri sendiri tatkala sesudah pernikahan mereka. Termasuk Arif. Tetapi entah mengapa ada perasaan lain yang kini ada di dadanya. Betapa ia dapat melihat binar di mata Safitri saat bercerita. Iman sudah tak mendengar lagi cerita Safitri yang lain. Ia sibuk dengan fikirannya sendiri.
“Lho,….. Mas… kok udah selesai nyabutin rumputnya? Udah capek ya?... Kalau Mas udah capek biar Fitri aja yang menyelesaikan. Mas Iman istirahat aja ya. Itu… sudah Fi siapkan teh hangat dan kue. Tadi, Fi mencoba resep baru. Cobain ya, Mas!” pintanya sambil tersenyum. Iman pun mengangguk dan mencoba untuk tersenyum. Namun senyum itu sedikit kaku, karena ia masih terbelenggu oleh perasaannya. Untung istrinya tak melihat, karena ia telah kembali menekuni pekerjaannya. Ah, tak seharusnya aku berfikir macam-macam tentang istriku. Desah Iman dengan lirih.
“Eh….kok malah bengong! Nanti keburu dingin lho minumannya…,” kata Safitri sambil berdiri. Ia kibaskan bajunya, mengusir butiran-butiran tanah yang ada di atasnya. Iman segera tersadar. Dengan cepat ia pun berbalik dan bergegas menuju ke dapur. Safitri mengerutkan keningnya. Ia sedikit heran dengan tingkah suaminya. Dan rasanya, suaminya menjadi sedikit pendiam sore ini. Tapi cepat-cepat ia tepis berbagai pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya.
Pagi itu Iman tampak tergesa-gesa memasukan berkas-berkas yang ada diatas meja. Berulang kali ia membolak-baliknya untuk memastikan agar tak ada yang tertinggal. Safitri yang telah selesai dengan urusan dapurnya sedang menunggu di meja makan. Sambil menenteng tas kerjanya, Iman menuju ke meja makan. Lalu keduanya menikmati makan pagi dalam diam. Tanpa ada pembicaraan. Tak seperti biasanya. Safitri yang hendak mulai membuka percakapan, menunda maksudnya ketika dilihat suaminya beberapa kali melirik jam tangannya. Akhirnya Iman telah menyelesaikan makan paginya. Safitri memandang piringnya yang masih tersisa setengah. Ditatapnya Iman yang berjalan menuju kamar mandi. Safitri menghela nafas. Beberapa saat kemudian suaminya kembali dan langsung mengambil tas kerjanya. “Fi, aku berangkat ya… Assalamu’alaikum,” kata Iman sambil menatap istrinya sekilas. “Wa’alaikumussalam…,” jawab Safitri sambil berdiri dan kemudian membuntuti suaminya menuju ke garasi.
Sore harinya, sepertinya kejadian tadi pagi terulang kembali. Iman tengah berada diruang tengah sambil membaca Koran. Sedang Safitri berada di kebun seperti biasanya. Ketika Safitri menanyakan kenapa Iman tak ke kebun, ia hanya menjawab kalau sedang capek. Safitri pun tak memburunya dengan pertanyaan yang lain. Ia hanya diam dan bergegas menuju ke kebun. Padahal di kebun ia sibuk sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan yang menderanya. Akhirnya untuk mengalihkan fikirannya, Safitri menuju ke kolam kecil yang ada di kebun itu. Safitri sedikit terhibur ketika di lihatnya ikan-ikan kecil itu saling berebutan untuk mendapatkan makanan dari tangannya. Tubuh mereka berwarna-warni dengan ekornya yang lucu, tampak indah bergerak kian-kemari, seulas senyum muncul di sudut bibir Safitri, menyaksikan tingkah laku mereka.
“Fi!”
“Ya…, ada apa, Mas?” Tanya Safitri dari arah dapur. “Tolong kemari sebentar!” “Sebentar, Mas! Lagi tanggung nih…!” Safitri segera menyelesaikan masakannya. Setelah mematikan kompor dan meletakan masakannya kedalam mangkuk, ia bergegas menuju kearah suaminya. “Ada apa, Mas?” “Kok lengan bajuku masih ada nodanya? Udah Fi, cuci atau belum?” Iman lalu mengangsurkan kemeja panjangnya. Sedetik kemudian Safitri mengamati kemeja itu. “Lho…, yang ini udah aku cuci kok, Mas.” “Udah dicuci kok masih kotor? Jangan-jangan Fi lupa tapi mengira udah dicuci…,” kata Iman dengan tekanan.
“Ih… masa’ Fi bohong!” jawab Safitri dengan sedikit ngotot. “Tapi, kenapa masih ada nodanya?” Tanya Iman tak mau kalah. Kali ini dengan suara yang agak keras. “Enggak tahu! Mungkin kena kotoran waktu dijemur dan Fi enggak melihat sewaktu mengambilnya. Mas pakai yang lain saja ya… Biar yang ini Fi cuci lagi.” Safitri pun berkata dengan sedikit keras. Ia merasa terkejut ketika mendengar nada tinggi dari suaminya. Ia merasa seolah-olah kesalahannya menjadi bertubi-tubi. Safitri cepat-cepat menuju ke sumur. Tanpa sengaja ia mengeraskan aliran air di ledeng. Bersamaan dengan tumpahnya air dari ledeng, tumpah pula air matanya. Safitri tak mengerti. Seolah-olah ia tak mengenali lagi suaminya. Dari perubahan sikap suaminya yang menjadi sedikit pendiam sampai puncaknya pagi ini. Safitri sedang terguncang hatinya ketika mendengar suaminya berbicara dengan nada tinggi padanya. Padahal selama ini Iman selalu berkata lemah lembut pada dirinya dan selalu bisa menahan emosi. Tapi tadi…? Mungkinkah sedang ada persoalan dikantornya? Tapi…, rasanya tidak! Safitri menggelengkan kepalanya. Kalau pun ada, pasti suaminya kan bercerita padanya. Lalu apa..? Segala Tanya lain timbul di benaknya.
Sementara itu, diruang makan, Iman tengah tertegun.seolah ia baru sadar akan kekeliruannya. Tak seharusnya ia berkata keras kepada istrinya. Sempat ia lihat rona merah di wajah istrinya. Dan betapa tergesanya langkah-langkah Safitri saat menuju ke sumur, seolah ingin menghindar dari dirinya. Tiba-tiba…, Ups! Mata Iman tertumbuk pada jam dinding yang ada diruang makan. waktu ternyata begitu cepat berlalu. Ia seharusnya sudah berangkat ke kantor beberapa menit yang lalu. Cepat-cepat ia berganti pakaian dan menuju ke mobilnya. Dengan agak tergesa-gesa ia menjalankan mobilnya. Ketika tiba di perempatan ujung jalan… satu lagi rasa bersalah hinggap di hatinya. Ia lupa berpamitan kepada Safitri…
Safitri kembali menuju keruang makan. Dan ia terlongong dengan heran. Suaminya sudah tak ada disini. Dan mobilnya… Cepat-cepat ia menuju kegarasi. Sudah tak ada lagi! Berarti Mas Iman telah berangkat kekantor. Tapi, kenapa ia tak berpamitan padanya? Sebegitu marahkah suaminya sampai ia lupa berpamitan dengannya? Istrinya sendiri? Tanpa disadarinya, sebutir air mata bergulir jatuh di pipi Safitri.
Iman memasukan anak kunci. Pelan-pelan ia membuka pintu. Tanpa suara. Seolah takut membangunkan istrinya. Tapi…, masya Allah…,! Dilihatnya istrinya tertidur di sofa dengan memakai selimut. Nampak begitu pulas tidurnya. Perlahan Iman pun menghampiri sofa. Sebenarnya ia tak tega untuk membangunkan Safitri. Tapi apa boleh buat. Rasanya tidak pada tempatnya jika istrinya mesti tidur di sofa. Diusapnya dengan lembut pipi istrinya. Mencoba untuk membangunkannya. Kelopak mata Safitri perlahan terbuka. Ia terkejut mendapatkan suaminya telah berada di hadapannya. Dan yang lebih membuatnya terkejut lagi, suaminya tersenyum padanya. Senyum yang beberapa hari ini begitu mahal rasanya untuk singgah di bibir suaminya. Sampai- sampai Safitri lupa untuk membalasnya.
“Kok, pulang malam, Mas?” Tanya Safitri sambil membenarkan tempat duduknya. Iman kemudian mengambil tempat disamping Safitri. Ia pun menatap lekat-lekat mata Safitri. Menghadapi hal itu, Safitri perlahan menundukan wajahnya. “Maafkan aku ya, Fi. Tadi sewaktu pulang dari kantor ada teman yang mendapat musibah. Tabrak lari. Jadi, aku dan teman yang lain mengurus dia untuk dirawat di rumah sakit sekaligus mengabari keluarganya. Ternyata rumahnya cukup jauh juga. Itulah mengapa sampai di rumah terlambat. Fi nggak marahkan?” Safitri hanya diam dan membisu. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan pada Iman. Namun ia ragu. Apakah ini waktu yang tepat untuk itu. Tetapi ia ingin agar tak ada lagi yang mengganjal di hatinya. Selama ini ia begitu resah. Iman memegang tangan Safitri. Dirasakannya tangan itu begitu dingin. Iman jadi bertanya-tanya. “Kamu kenapa, Fi? Sakit ya…? Atau kamu marah padaku? Kalaupun kamu marah, aku siap menerimanya, Fi. Aku khilaf tidak memberitahu kamu, hingga membuatmu menunggu dalam cemas…”
Rupanya Safitri sudah tak kuasa lagi. Ia sandarkan kepalanya pada bahu suaminya. Disana tumpahlah airmatanya. Iman semakin bingung. Yang dapat dilakukannya hanyalah membelai rambut Safitri. Sambil menunggu saat reda tangis istrinya. Perlahan, tangis Safitri mereda. Dengan masih di sertai isakan-isakan kecil, ia mencoba untuk bicara pada suaminya. “Mas, maafkan Safitri. Mungkin Safitri bukan istri yang baik. Fi selalu membuat Mas Iman kecewa. Selalu membuat Mas marah. Dan juga…” Belum sempat Safitri menyelesaikan kalimatnya, telunjuk Iman telah telah berada di bibirnya. Sebagai isyarat untuk tidak meneruskan lagi perkataannya. Tanpa banyak bicara, Iman mengambil segelas air. Kemudian menyodorkannya kepada Safitri. Segera setelah menerimanya, Safitri pun meminumnya sedikit demi sedikit.
“Mengapa kamu berkata seperti itu, Fi?” Safitri membisu untuk beberapa saat. “Jangan diam saja, Fi. Kalau kamu begitu aku makin tak mengerti…” Lalu Safitri mencoba untuk bicara lagi. “Kenapa Mas Iman akhir-akhir ini sering mendiamkan Fi? Bicara dengan Fi pun hanya seperlunya. Apakah ada perbuatan Fi yang salah? Kalau iya, tolong Mas Iman beritahu Fi. Sebenarnya Fi sendiri telah mencoba untuk mencari jawabnya. Tetapi hingga kini Fi belum mendapatkannya..” Safitri berhenti sejenak. Ia mengatur nafasnya. Ia merasakan emosinya begitu meluap-luap. Sementara itu di lihatnya suaminya masih menanti dengan sabar. Kemudian dengan sedikit meredakan emosinya, ia meneruskan lagi pembicaraannya yang terhenti.
“Fi takut akan segala praduga yang selama ini memenuhi benak Fi. Fi nggak mau begini. Nggak mau terus bertanya-tanya.” Tangis Safitri pun pecah lagi. “Fi ingin kepastian dari Mas Iman. Kalau perlu, kalau Fi memang salah, Fi akan bersedia menerima sanksi apapun. Fi ikhlas…” Iman tercekat untuk beberapa lama. Lidahnya terasa kelu. Duhai…, serasa rasa bersalah kian menumpuk, memenuhi rongga dadanya. Dan membelenggu hatinya. Ia menghela nafas panjang. Mencoba untuk menata hatinya.
Sesungguhnya Iman telah melupakan praduga yang juga berkecamuk dibenaknya mengenai Safitri, istrinya. Tetapi mungkin bagi Safitri tidaklah cukup hanya dengan melupakan semuanya begitu saja. Safitri butuh kepastian darinya. Iman merasa khilaf. Ia tidak memperdulikan perasaan istrinya. Istrinya adalah orang yang peka. Walaupun ia sendiri telah mencoba untuk menutupi gejolak hatinya, tapi itu semua malahan membuat hubungan dengan istrinya tidak seperti dulu lagi. “Istriku..,” kata Iman perlahan. “Sesungguhnya akulah yang paling bersalah dalam hal ini. Aku telah mengombang-ambingkan perasaanmu. Tak memperdulikan perasaanmu. Aku telah begitu egois..” Selesai mengucapkan kalimat itu, Iman terdiam. Ia beristigfar dalam hati. Safitri memandang suaminya yang tengah tertunduk. Ia meraih tangan suaminya. Seolah ingin mengalirkan kekuatan.
“Seharusnya tak kubiarkan perasaan itu menguasai diriku, Fi. Saat itu aku hanya menuruti nafsu. Lagipula itu adalah masa lalu yang tak perlu diungkit-ungkit lagi.” Safitri mengernyitkan keningnya. Masa lalu? Masa lalu siapa? Ia atau suaminya…? Ia memandang suaminya dengan tatapan penuh Tanya. Iman tersenyum. “Safitri…, tahukah kamu bahwa selama ini ada rasa lain yang singgah di hatiku. Rasa yang begitu kuat. Walaupun aku telah berusaha menepisnya. Tetapi itu malahan membuat rasa itu semakin kurasakan kehadirannya.” “Mas.., ada apa sebenarnya?” tanya Safitri sambil memegang tangan suaminya dengan lebih erat. Suaranya melukiskan nada kekhawatiran.
“Rupanya aku telah cemburu, Fi. Entah bagaimana mulanya, aku tak suka saat kamu bercerita tentang Arif. Dan aku lebih tak suka saat kulihat betapa berbinarnya matamu saat bercerita tentang dia. Hhh ..! Mungkin itu semua karena ku tahu kamu pernah mengaguminya…” “Mas..” Safitri tak sanggup untuk meneruskan kata-katanya. Ia tak mengira ternyata sampai sejauh itu perasaan Iman. “Fi.., kuminta kamu bersedia memaafkanku. Jangan lagi ada Tanya di benakmu. Terimalah ini sebagai anugrah Allah, Fi. Karena dengannya telah Ia hadirkan rasa cinta diantara kita berdua. Walaupun dengan sedikit cobaan.”
Safitri mencoba menyimak kata-kata suaminya. Ada rasa hangat yang kini mengalir di dadanya. Ia bahagia. Betapa suaminya ternyata sangat menyayanginya. Sedangkan ia sendiri terlambat menyadari. Air mata Safitri pun menetes untuk kesekian kali. Tetapi yang pasti, kali ini bukan tangis kesedihan. Iman merasakan kemejanya basah. Ia tahu Safitri menangis lagi. Namun, kini ia membiarkannya.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | contact us