Betapa senangnya memiliki sebuah tempat pulang yang teduh. Rumah sederhana yang menentramkan. Ayah yang sangat bijaksana dan ibu yang sangat menyayangi putra-putrinya. Sebuah rumah yang memancarkan cahaya iman, ilmu dan taqwa. Sesuatu yang masih menjadi mimpi buatku hingga detik ini.
Ceritanya entah harus kumulai dari mana, karena jika bicara tentang rumah, sejak kecil aku memang tak pernah tinggal dibawah atap yang bukan atapku sendiri. Tapi semenjak usiaku 15 tahun, hingga saat ini, tiga tahun sesudahnya, aku bukan hanya merasa tidak memiliki rumah, tetapi juga tidak punya siapa-siapa kecuali satu hal. Dan satu hal itu sungguh cukup. Hal itu adalah tuhanku, yang merangkap sebagai kekasihku, pelndungku, penjamin hidupku, pemeliharaku, guruku, segala yang berharga bagiku. Ini baru berlansung selama 3 tahun, setelah sebelumnya , sosok tuhan bagiku adalah benda asing yang hanya kukenal waktu bulan puasa. Akupun tidak yakin aku mengenalnya. Tapi sejak musibah yang terjadi 3 tahun lalu, hidupku jauh berubah. Musibah atau anugrah tersebut bernama tsunami. Terjadi di Aceh, 25 Desember 2004, sehari setelah natal. Usiaku saat itu masih 14 tahun saat tiba-tiba saja sebagian keluargaku disapu ombak. Ayahku yang stroke, Ibuku yang pernah patah tulang hingga tidak bisa berlari cepat, tentu jadi sasaran empuk gulungan air tersebut. Keduanya adalah dosen Universitas Syah Kuala, keduanya adalah dosen musik, sangat kusesali. Semoga Allah mengampuni mereka. Itulah kenapa aku dan adikku harus menjadi "anak baik" atau kalau tidak peluang mama dan papa selamat melewati hari perhitungan akan tipis. Saat itu dunia seperti diputar balikan. Aku sepatutnya bersyukur karena pemakaman papa dan mama tak makan biaya, karena tuhan telah memakamkannya disuatu tempat-mungkin-di kedalaman laut yang tak mungkin kuziarahi. Menutup kemungkinan kedua orang tuaku diazab karena ditangisi kedua anak-anaknya. Memang tak terlalu kentara kesedihan diwajahku dan adikku saat kabar itu kami dengar. Meski keluarga yang lain menangis sesegukan menyesali kepergian mereka, namun kami, para putrinya, entah bagaimana prosesnya tiba-tiba menjadi beku, sebeku musim dingin. Kami sulit menangis. Bahkan aku melakukan hal bodoh, menangis karena bingung kenapa aku tidak bisa menangis seperti keluarga lain. Aku bertanya kepada kamarku dan tak ada yang menjawab. Sejak itu dihari pertama usia 15 tahunku, aku harus pindah kerumah Pakde. Dirumah yang sempit itu aku dan adikku tinggal dengan 5 anggota keluarga yang lain yang kesemuanya non muslim. 1 kamar untuk berdua; aku dan adikku, satu kasur dibagi dua, meja dibagi dua, shalat bergantian, dijatah waktunya agar tidak terlambat shalatnya. Sejak saat itu pula, makin terasalah bahwa aku memang tidak pernah punya rumah, atau minimal, merasakan memiliki rumah.
Karena tak bisa kutemukan rumah di rumah yang kutempatkan ini, akhirnya kucari tempat lain yang lebih pantas kusebut rumah. Waktu itu aku masih belum paham agama. Namun bersyukur aku kepada Allah, Dia memberiku "rumah" disekolah pilihanku. Sekolah yang hijau dan hangat, yang memiliki perpustakaan dan kitab-kitab berharga yang harusnya dibaca semua yang mengaku muslim. Kitab semisal Riyadhus Shalihin, Lu'lu' wa Marjan, Minhajul Muslimin, kitab-kitab fiqh dan lain-lain. Ada juga majalah-majalah islami, buku-buku kecil yang sangat membantuku mengenal agamaku sendiri. Satu lagi, Allah menyediakan bangunan paling selatan disekolahku, Mushala. Tempat aku berteduh bersama akhwat-akhwat pengurus Rohis yang baik. Entah kenapa aku langsung merasa cocok dengan sekolahku. Seiring tumbuhnya kecintaanku pada sekolah, tumbuh pula kebencian pada rumah yang tidak seperti rumah bagiku. Di sekolah aku menemukan tuhan. Aku merasa didekap oleh keindahan agamaku. Banyak hal dalam Islam yang membuatku begitu tersentuh. Tuhan yang dalam bayanganku dulu adalah sosok otoriter yang melulu ingin disembah, ternyata adalah tuhan yang maha lembut, Yang Pengertian, begitu mencintai hamba-Nya dengan kecintaan yang penuh. Kehidupanku berubah. Semula aku adalah anak nakal yang hedonis berubah menjadi anak mushala yang agamis. Aku merasakan Dia telah mencurahkan cinta-Nyayang begitu besar kepadaku. Dia membuatku merasa istimewa. Tiga tahun hidupku ini adalah keajaiban. Memang ada alasan tertentu kenapa aku tak ikut dihanyutkan kesamudra.. Kenapa Mama menyuruhku tetap dijogja. Alasan yang masih misteri, tapi aku tau akan takdir yang harus kujemput sebelum aku dijemput malaikat maut. Percaya tidak percaya, selama tiga tahun ini, tak sekalipun Pakde memberi uang jajan padaku, padahal kebutuhan sekolah, sehari-hari, dan tugas-tugas sangatlah banyak. Tetapi Allah, dengan cara yang tak kupahami prosesnya, menjadi satu-satunya penjamin kehidupanku. Ada saja rejeki yang datang tanpa harus bersusah-susah bekerja atau bermudah-mudah meminta. Subhanallah... Ini masih berlangsung hingga sekarang. Ni'mat yang tak mungkin kuingkari. SPP, uang sekolahpun dibiayai oleh yayasan. Keajaiban lain, sejak kecil aku lahir prematur, sakit-sakitan, pengonsumsi antibiotik bertahun-tahun, pelanggan tetap rumah sakit, pokoknya dari segi kesehatan aku payah. Dan tidak tanggung-tanggung, ini berlangsung hingga SMP. Namun setelah aku mengenal Islamdan shalat rutin, tiba-tiba saja semua penyakit itu menguap entah kenapa. Tiga tahu tak kukunjungi rumah sakit kecuali untuk menjenguk teman. Tiga tahun tanpa obat-obat rutin tahunan, tanpa sakit-sakit yang berat kecuali hanya flu saat pancaroba.
Sumber: Ummu Shaffiyya Almaasah ( majalah elfata)
0 comments:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan komentar Anda