Serampang Duabelas merupakan tarian tradisional Melayu yang berkembang di bawah Kesultanan Serdang. Tarian ini diciptakan oleh Sauti pada tahun 1940-an dan digubah ulang oleh penciptanya antara tahun 1950-1960. Sebelum bernama Serampang Duabelas, tarian ini bernama Tari Pulau Sari, sesuai dengan judul lagu yang mengiringi tarian ini, yaitu lagu Pulau Sari.
Sedikitnya ada dua alasan mengapa nama Tari Pulau Sari diganti Serampang Duabelas. Pertama, nama Pulau Sari kurang tepat karena tarian ini bertempo cepat (quick step). Menurut Tengku Mira Sinar, nama tarian yang diawali kata “pulau” biasanya bertempo rumba, seperti
Tari Pulau Kampai dan Tari Pulau Putri. Sedangkan Tari Serampang
Duabelas memiliki gerakan bertempo cepat seperti Tari Serampang Laut.
Berdasarkan hal tersebut, Tari Pulau Sari lebih tepat disebut Tari
Serampang Duabelas. Nama duabelas sendiri berarti tarian dengan gerakan
tercepat di antara lagu yang bernama serampang (Sinar, 2009: 48). Kedua,
penamaan Tari Serampang Duabelas merujuk pada ragam gerak tarinya yang
berjumlah 12, yaitu: pertemuan pertama, cinta meresap, memendam cinta,
menggila mabuk kepayang, isyarat tanda cinta, balasan isyarat, menduga,
masih belum percaya, jawaban, pinang-meminang, mengantar pengantin, dan
pertemuan kasih. Penjelasan tentang ragam gerak Tari Serampang Duabelas akan dibahas kemudian.
Menurut
Tengku Mira Sinar, tarian ini merupakan hasil perpaduan gerak antara
tarian Portugis dan Melayu Serdang. Pengaruh Portugis tersebut dapat
dilihat pada keindahan gerak tarinya dan kedinamisan irama musik
pengiringnya.
Seni
Budaya Portugis memang mempengaruhi bangsa Melayu, terlihat dari gerak
tari tradisionalnya (Folklore) dan irama musik tari yang dinamis, dapat
kita lihat dari tarian Serampang XII yang iramanya tari lagu dua. Namun
kecepatannya (2/4) digandakan, gerakan kaki yang melompat-lompat dan
lenggok badan serta tangan yang lincah persis seperti tarian Portugis.
Sebagai seorang penari tentu saya takjub dengan adanya kaitan budaya
antara kedua negara ini, dan sebagai puteri Melayu Serdang, dalam
khayalan saya bayangkan ketika guru Sauti menari di hadapan Sultan
Sulaiman di Istana Kota Galuh Perbaungan. Sungguh betapa cerdas beliau
dengan imajinasinya menggabungkan gerak tari Portugis dan Melayu
Serdang, sehingga tercipta tari Serampang XII yang terkenal di seluruh
dunia itu.
Tari
Serampang Duabelas berkisah tentang cinta suci dua anak manusia yang
muncul sejak pandangan pertama dan diakhiri dengan pernikahan yang
direstui oleh kedua orang tua sang dara dan teruna. Oleh karena
menceritakan proses bertemunya dua hati tersebut, maka tarian ini
biasanya dimainkan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan. Namun
demikian, pada awal perkembangannya tarian ini hanya dibawakan oleh
laki-laki karena kondisi masyarakat pada waktu itu melarang perempuan
tampil di depan umum, apalagi memperlihatkan lenggak-lenggok tubuhnya.
Diperbolehkannya
perempuan memainkan Tari Serampang Duabelas ternyata berpengaruh
positif terhadap perkembangan tarian ini. Serampang Duabelas tidak hanya
berkembang dan dikenal oleh masyarakat di wilayah Kesultanan Serdang,
tetapi juga menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Riau,
Jambi, Kalimantan, Sulawesi, bahkan sampai ke Maluku. Bahkan, tarian ini
sering dipentaskan di manca negara, seperti Malaysia, Singapura,
Thailand, dan Hongkong.
Keberadaan
Tari Serampang Duabelas yang semakin mendunia ternyata memantik
kegelisahan sebagian masyarakat Serdang Bedagai pada khususnya, dan
Sumatra Utara pada umumnya. Kekhawatiran tersebut muncul karena dua hal.
Pertama, persebaran Tari Serampang Duabelas ke berbagai daerah
dan negara tidak diimbangi dengan transformasi kualitasnya. Artinya,
transformasi Tari Serampang Duabelas terjadi hanya pada bentuknya saja,
bukan kepada tekniknya. Menurut Jose Rizal Firdaus (Kompas, 1 Juli
2008), salah satu yang mengkhawatirkan dari perkembangan Tari Serampang
Duabelas adalah pendangkalan dalam hal teknik menari. Hal ini disebabkan
oleh orang-orang dari luar daerah Deli Serdang yang memainkan tarian
ini tidak didukung oleh penguasaan terhadap teknik yang benar.
Akibatnya, terjadi pergeseran teknik tari dari aslinya.
Kedua,
minimnya kepedulian generasi muda kepada Tari Serampang Duabelas.
Meluasnya persebaran tarian ini ke berbagai daerah ternyata tidak
diimbangi dengan meningkatnya kecintaan generasi muda Serdang Bedagai
terhadap tarian ini. Kondisi ini tidak saja dapat menyebabkan Tari
Serampang Duabelas hilang karena tidak ada penerusnya, tapi juga bisa
hilang karena diklaim oleh pihak lain (Kompas, 1 Juli 2008).
Kedua
fenomena tersebut harus disikapi secara cepat dan tepat agar Tari
Serampang Duabelas tidak saja lestari, tetapi juga dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat Serdang Bedagai pada khususnya, dan Indonesia
pada umumnya. Sedikitnya ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk
menyelamatkan Tari Serampang Duabelas. Pertama, menjadikan Tari
Serampang Duabelas sebagai aset daerah. Artinya, pemerintah harus
melakukan proteksi agar tarian ini tidak diklaim oleh pihak lain, yaitu
dengan mematenkan hak ciptanya.
Kedua,
mendekatkan Tari Serampang Duabelas kepada anak-anak dan remaja. Cara
yang dapat dilakukan adalah dengan menjadikan Tari Serampang Duabelas
sebagai salah satu materi pengajaran muatan lokal. Dengan menjadikan
Tari Serampang Duabelas sebagai materi muatan lokal, maka anak-anak
sejak dini diajarkan untuk mengetahui sejarah keberadaannya dan memahami
nilai-nilai yang terkandung di dalam setiap geraknya. Dengan cara ini,
maka kita telah berusaha menanamkan kepada generasi muda rasa cinta,
bangga, dan rasa memiliki terhadap Tari Serampang Duabelas.
Ketiga,
menyelenggarakan perlombaan rutin Tari Serampang Duabelas.
Menyelenggarakan perlombaan tari artinya mencari orang yang mempunyai
kemampuan terbaik dalam menari. Dalam perlombaan, hanya yang terbaiklah
yang akan menjadi juara. Untuk menjadi yang terbaik, setiap orang harus
belajar dengan sungguh-sungguh agar mempunyai kemampuan menari yang
lebih baik dari orang lain. Melalui strategi ini, setiap orang secara
halus “dipaksa” untuk mempelajari Tari Serampang Duabelas secara baik
dan benar. Jika cara ini berjalan, maka ada dua hal yang dicapai
sekaligus, yaitu lestarinya Tari Serampang Duabelas pada satu sisi, dan
terjaganya kualitas teknik Tari Serampang Duabelas pada sisi yang lain.
Keempat, memberikan jaminan kesejahteraan hidup para pelestarinya. Para stake holder,
khususnya pemerintah, perlu membuat terobosan agar para pelestari Tari
Serampang Duabelas, dan juga para pelestari warisan budaya lainnya,
dapat hidup secara salayak. Para pelestari kebudayaan kebudayaan tentu
akan terus bekerja dan mengabdikan hidupnya untuk melestarikan warisan
budaya jika apa yang dilakukan tidak saja secara normatif menjaga
kelestarian budaya, tetapi juga secara praktis menjadi penopang
keberlangsungan hidupnya. Seringkali warisan budaya dibiarkan terlantar
karena “tidak memberikan” manfaat kepada pemiliknya.
0 comments:
Posting Komentar
Mohon tinggalkan komentar Anda